Sabtu, 03 November 2012

Kisah nyata..


>    25 tahun yang lalu,
>     Inikah nasib? Terlahir sebagai menantu bukan pilihan.
>     Tapi aku dan Kania harus tetap menikah. Itu sebabnya
>     kami ada di Kantor Catatan Sipil. Wali kami pun wali
>     hakim. Dalam tiga puluh menit, prosesi pernikahan kami
>     selesai. Tanpa sungkem dan tabur melati atau hidangan
>     istimewa dan salam sejahtera dari kerabat. Tapi aku
>     masih sangat bersyukur karena Lukman dan Naila mau
>     hadir menjadi saksi. Umurku sudah menginjak seperempat
>     abad dan Kania di bawahku. Cita-cita kami sederhana,
>     ingin hidup bahagia.
> 
> 
>     22 tahun yang lalu,
>     Pekerjaanku tidak begitu elit, tapi cukup untuk biaya
>     makan keluargaku. Ya, keluargaku. Karena sekarang aku
>     sudah punya momongan. Seorang putri, kunamai ia
>     Kamila. Aku berharap ia bisa menjadi perempuan
>     sempurna, maksudku kaya akan budi baik hingga dia
>     tampak sempurna. Kulitnya masih merah, mungkin karena
>     ia baru berumur seminggu. Sayang, dia tak dijenguk
>     kakek-neneknya dan aku merasa prihatin. Aku harus bisa
>     terima nasib kembali, orangtuaku dan orangtua Kania
>     tak mau menerima kami. Ya sudahlah. Aku tak berhak
>     untuk memaksa dan aku tidak membenci mereka. Aku hanya
>     yakin, suatu saat nanti, mereka pasti akan berubah.
> 
> 
>     19 tahun yang lalu,
>     Kamilaku gesit dan lincah. Dia sekarang sedang senang
>     berlari-lari, melompat-lompat atau meloncat dari meja
>     ke kursi lalu dari kursi ke lantai kemudian berteriak
>     "Horeee, Iya bisa terbang". Begitulah dia memanggil
>     namanya sendiri, Iya. Kembang senyumnya selalu merekah
>     seperti mawar di pot halaman rumah. Dan Kania tak
>     jarang berteriak, "Iya sayaaang," jika sudah terdengar
>     suara "Prang". Itu artinya, ada yang pecah, bisa vas
>     bunga, gelas, piring, atau meja kaca. Terakhir cermin
>     rias ibunya yang pecah. Waktu dia melompat dari tempat
>     tidur ke lantai, boneka kayu yang dipegangnya
>     terpental. Dan dia cuma bilang "Kenapa semua kaca di
>     rumah ini selalu pecah, Ma?"
> 
> 
>     18 tahun yang lalu,
>     Hari ini Kamila ulang tahun. Aku sengaja pulang lebih
>     awal dari pekerjaanku agar bisa membeli hadiah dulu.
>     Kemarin lalu dia merengek minta dibelikan bola. Kania
>     tak membelikannya karena tak mau anaknya jadi tomboy
>     apalagi jadi pemain bola seperti yang sering
>     diucapkannya. "Nanti kalau sudah besar, Iya mau jadi
>     pemain bola!" tapi aku tidak suka dia menangis terus
>     minta bola, makanya kubelikan ia sebuah bola. Paling
>     tidak aku bisa punya lawan main setiap sabtu sore. Dan
>     seperti yang sudah kuduga, dia bersorak kegirangan
>     waktu kutunjukkan bola itu. "Horee, Iya jadi pemain
>     bola."
> 
> 
>     17 Tahun yang lalu
>     Iya, Iya. Bapak kan sudah bilang jangan main bola di
>     jalan. Mainnya di rumah aja. Coba kalau ia nurut,
>     Bapak kan tidak akan seperti ini. Aku tidak tahu
>     bagaimana Kania bisa tidak tahu Iya menyembunyikan
>     bola di tas sekolahnya. Yang aku tahu, hari itu hari
>     sabtu dan aku akan menjemputnyanya dari sekolah.
>     Kulihat anakku sedang asyik menendang bola sepanjang
>     jalan pulang dari sekolah dan ia semakin ketengah
>     jalan. Aku berlari menghampirinya, rasa khawatirku
>     mengalahkan kehati-hatianku dan "Iyaaaa". Sebuah truk
>     pasir telak menghantam tubuhku, lindasan ban besarnya
>     berhenti di atas dua kakiku. Waktu aku sadar, dua
>     kakiku sudah diamputasi. Ya Tuhan, bagaimana ini.
>     Bayang-bayang kelam menyelimuti pikiranku, tanpa kaki,
>     bagaimana aku bekerja sementara pekerjaanku mengantar
>     barang dari perusahaan ke rumah konsumen. Kulihat
>     Kania menangis sedih, bibir cuma berkata "Coba kalau
>     kamu tak belikan ia bola!"
> 
> 
>     15 tahun yang lalu,
>     Perekonomianku morat marit setelah kecelakaan. Uang
>     pesangon habis untuk ke rumah sakit dan uang tabungan
>     menguap jadi asap dapur. Kania mulai banyak mengeluh
>     dan Iya mulai banyak dibentak. Aku hanya bisa
>     membelainya. Dan bilang kalau Mamanya sedang sakit
>     kepala makanya cepat marah. Perabotan rumah yang bisa
>     dijual sudah habis. Dan aku tak bisa berkata apa-apa
>     waktu Kania hendak mencari ke luar negeri. Dia ingin
>     penghasilan yang lebih besar untuk mencukupi kebutuhan
>     Kamila. Diizinkan atau tidak diizinkan dia akan tetap
>     pergi. Begitu katanya. Dan akhirnya dia memang pergi
>     ke Malaysia.
> 
> 
>     13 tahun yang lalu,
>     Setahun sejak kepergian Kania, keuangan rumahku
>     sedikit membaik tapi itu hanya setahun. Setelah itu
>     tak terdengar kabar lagi. Aku harus mempersiapkan uang
>     untuk Kamila masuk SMP. Anakku memang pintar dia
>     loncat satu tahun di SD-nya. Dengan segala
>     keprihatinan kupaksakan agar Kamila bisa melanjutkan
>     sekolah. aku bekerja serabutan, mengerjakan pekerjaan
>     yang bisa kukerjakan dengan dua tanganku. Aku miris,
>     menghadapi kenyataan. Menyaksikan anakku yang tumbuh
>     remaja dan aku tahu dia ingin menikmati dunianya. Tapi
>     keadaanku mengurungnya dalam segala kekurangan. Tapi
>     aku harus kuat. Aku harus tabah untuk mengajari Kamila
>     hidup tegar.
> 
> 
>     10 tahun yang lalu,
>     Aku sedih, semua tetangga sering mengejek kecacatanku.
>     Dan Kamila hanya sanggup berlari ke dalam rumah lalu
>     sembunyi di dalam kamar. Dia sering jadi bulan-bulanan
>     hinaan teman sebayanya. Anakku cantik, seperti ibunya.
>     "Biar cantik kalo kere ya kelaut aje." Mungkin itu
>     kata-kata yang sering kudengar. Tapi anakku memang
>     sabar dia tidak marah walau tak urung menangis juga.
> 
> 
>     "Sabar ya, Nak!" hiburku.
>     "Pak, Iya pake jilbab aja ya, biar tidak diganggu!"
>     pintanya padaku. Dan aku menangis. Anakku maafkan
>     bapakmu, hanya itu suara yang sanggup kupendam dalam
>     hatiku. Sejak hari itu, anakku tak pernah lepas dari
>     kerudungnya. Dan aku bahagia. Anakku, ternyata kamu
>     sudah semakin dewasa. Dia selalu tersenyum padaku. Dia
>     tidak pernah menunjukkan kekecewaannya padaku karena
>     sekolahnya hanya terlambat di bangku SMP.
> 
> 
>     7 tahun yang lalu,
>     Aku merenung seharian. Ingatanku tentang Kania,
>     istriku, kembali menemui pikiranku. Sudah
>     bertahun-tahun tak kudengar kabarnya. Aku tak mungkin
>     bohong pada diriku sendiri, jika aku masih menyimpan
>     rindu untuknya. Dan itu pula yang membuat aku takut.
>     Semalam Kamila bilang dia ingin menjadi TKI ke
>     Malaysia. Sulit baginya mencari pekerjaan di sini yang
>     cuma lulusan SMP. Haruskah aku melepasnya karena
>     alasan ekonomi. Dia bilang aku sudah tua, tenagaku
>     mulai habis dan dia ingin agar aku beristirahat. Dia
>     berjanji akan rajin mengirimi aku uang dan menabung
>     untuk modal. Setelah itu dia akan pulang, menemaniku
>     kembali  dan membuka usaha kecil-kecilan. Seperti
>     waktu lalu, kali ini pun aku tak kuasa untuk
>     menghalanginya. Aku hanya berdoa agar Kamilaku
>     baik-baik saja.
> 
> 
>     4 tahun lalu,
>     Kamila tak pernah telat mengirimi aku uang. Hampir
>     tiga tahun dia di sana. Dia bekerja sebagai seorang
>     pelayan di rumah seorang nyonya. Tapi Kamila tidak
>     suka dengan laki-laki yang disebutnya datuk. Matanya
>     tak pernah siratkan sinar baik. Dia juga dikenal suka
>     perempuan. Dan nyonya itu adalah istri mudanya yang
>     keempat. Dia bilang dia sudah ingin pulang. Karena
>     akhir-akhir ini dia sering diganggu. Lebaran tahun ini
>     dia akan berhenti bekerja. Itu yang kubaca dari
>     suratnya. Aku senang mengetahui itu dan selalu
>     menunggu hingga masa itu tiba. Kamila bilang, aku
>     jangan pernah lupa salat dan kalau kondisiku sedang
>     baik usahakan untuk salat tahajjud. Tak perlu
>     memaksakan untuk puasa sunnah yang pasti setiap bulan
>     Ramadhan aku harus berusaha sebisa mungkin untuk kuat
>     hingga beduk manghrib berbunyi. Kini anakku lebih
>     pandai menasihati daripada aku. Dan aku bangga.
> 
> 
>     3 tahun 6 bulan yang lalu,
>     Inikah badai? Aku mendapat surat dari kepolisian
>     pemerintahan Malaysia, kabarnya anakku ditahan. Dan
>     dia diancam hukuman mati, karena dia terbukti membunuh
>     suami majikannya. Sesak dadaku mendapat kabar ini. Aku
>     menangis, aku tak percaya. Kamilaku yang lemah lembut
>     tak mungkin membunuh. Lagipula kenapa dia harus
>     membunuh. Aku meminta bantuan hukum dari Indonesia
>     untuk menyelamatkan anakku dari maut. Hampir setahun
>     aku gelisah menunggu kasus anakku selesai. Tenaga
>     tuaku terkuras dan airmataku habis. Aku hanya bisa
>     memohon agar anakku tidak dihukum mati andai dia
>     memang bersalah.
> 
> 
>     2 tahun 6 bulan yang lalu,
>     Akhirnya putusan itu jatuh juga, anakku terbukti
>     bersalah. Dan dia harus menjalani hukuman gantung
>     sebagai balasannya. Aku tidak bisa apa-apa selain
>     menangis sejadinya. Andai aku tak izinkan dia pergi
>     apakah nasibnya tak akan seburuk ini? Andai aku tak
>     belikan ia bola apakah keadaanku pasti lebih baik? Aku
>     kini benar-benar sendiri. Wahai Allah kuatkan aku.
> 
> 
>     Atas permintaan anakku aku dijemput terbang ke
>     Malaysia. Anakku ingin aku ada di sisinya disaat
>     terakhirnya. Lihatlah, dia kurus sekali. Dua matanya
>     sembab dan bengkak. Ingin rasanya aku berlari tapi apa
>     daya kakiku tak ada. Aku masuk ke dalam ruangan
>     pertemuan itu, dia berhambur ke arahku, memelukku
>     erat, seakan tak ingin melepaskan aku.
> 
> 
>     "Bapak, Iya Takut!" aku memeluknya lebih erat lagi.
>     Andai bisa ditukar, aku ingin menggantikannya.
> 
> 
>     "Kenapa, Ya, kenapa kamu membunuhnya sayang?"
>     "Lelaki tua itu ingin Iya tidur dengannya, Pak. Iya
>     tidak mau. Iya dipukulnya. Iya takut, Iya dorong dan
>     dia jatuh dari jendela kamar. Dan dia mati. Iya tidak
>     salah kan, Pak!" Aku perih mendengar itu. Aku iba
>     dengan nasib anakku. Masa mudanya hilang begitu saja.
>     Tapi aku bisa apa, istri keempat lelaki tua itu
>     menuntut agar anakku dihukum mati. Dia kaya dan lelaki
>      itu juga orang terhormat. Aku sudah berusaha untuk
>     memohon keringanan bagi anakku, tapi menemuiku pun ia
>     tidak mau. Sia-sia aku tinggal di Malaysia selama enam
>     bulan untuk memohon hukuman pada wanita itu.
> 
> 
>     2 tahun yang lalu,
>     Hari ini, anakku akan dihukum gantung. Dan wanita itu
>     akan hadir melihatnya. Aku mendengar dari petugas jika
>     dia sudah datang dan ada di belakangku. Tapi aku tak
>     ingin melihatnya. Aku melihat isyarat tangan dari
>     hakim di sana. Petugas itu membuka papan yang diinjak
>     anakku. Dan 'blass" Kamilaku kini tergantung. Aku tak
>     bisa lagi menangis. Setelah yakin sudah mati, jenazah
>     anakku diturunkan mereka, aku mendengar langkah kaki
>     menuju jenazah anakku. Dia menyibak kain penutupnya
>     dan tersenyum sini. Aku mendongakkan kepalaku, dan
>     dengan mataku yang samar oleh air mata aku melihat
>     garis wajah yang kukenal.
> 
> 
>     "Kania?"
>     "Mas Har, kau ... !"
>     "Kau ... kau bunuh anakmu sendiri, Kania!"
> 
> 
>     "Iya? Dia..dia . Iya?" serunya getir menunjuk jenazah
>     anakku.
> 
> 
>     "Ya, dia Iya kita. Iya yang ingin jadi pemain bola
>     jika sudah besar."
> 
> 
>     "Tidak ... tidaaak ... " Kania berlari ke arah jenazah anakku.
>     Diguncang tubuh kaku itu sambil menjerit histeris.
>     Seorang petugas menghampiri Kania dan memberikan
>     secarik kertas yang tergenggam di tangannya waktu dia
>     diturunkan dari tiang gantungan. Bunyinya "Terima
>     kasih Mama." Aku baru sadar, kalau dari dulu Kamila
>     sudah tahu wanita itu ibunya.
> 
> 
>     Setahun lalu,
>     Sejak saat itu istriku gila. Tapi apakah dia masih
>     istriku. Yang aku tahu, aku belum pernah
>     menceraikannya. Terakhir kudengar kabarnya dia mati
>     bunuh diri. Dia ingin dikuburkan di samping kuburan
>     anakku, Kamila. Kata pembantu yang mengantarkan
>     jenazahnya padaku, dia sering berteriak, "Iya
>     sayaaang, apalagi yang pecah, Nak." Kamu tahu Kania,
>     kali ini yang pecah adalah hatiku. Mungkin orang tua
>     kita memang benar, tak seharusnya kita menikah. Agar
>     tak ada kesengsaraan untuk Kamila anak kita. Benarkah
>     begitu Iya sayang?
> 
> 
>    Sumber : TRUE STORY
> 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar