Rabu, 02 Januari 2013

Mengenal Sejarah Marga

        Sesuai tarombo, Juaro Parultop dan Datu Parulas merupakan anak kembar (silinduat), makanya kadang Purba yang dari Simalungun yang punya tarombo menuliskannya dengan Datu Parulas sebagai Tuan Pangultop-ultop. Keduanya merupakan orang sakti (datu bolon), mungkin ceritanya agak panjang, tapi dari tarombo yang ada Juaro Parultop memperanakkan : Purba Tambak, Sidasuha, Tarigan (di karo), Purba Batu. Datu Parulas memperanakkan : Siboro, Purba yang ada di Simalungun.
  • Pergi ke Tanoh Dairi
    • Purba Pakpak yang merantau ke Tanoh Simalungun
Purba Pakpak ada si Lima Bapak, yakni : Hinalang, Nagori, Bangun Purba, Purba Tua dan Nagasaribu dan Purba Parhorbo keturunan Manorsa ada yang tinggal di Simalungun. Mereka adalah Purba Tambun Saribu (TAMSAR) dan Purba Tondang. Kuburan Tuan Manorsa juga tetap di Haranggaol , sedang tugunya ada di Simamora Nabolak. Kebanyakan Purba yang di Simalungun hijrah dari Pakpak yakni keturunan Purba Sigulang Batu, dan Tarigan juga berasal dari Purba Sigulangbatu.
o Marga Siboro menjadi Cibero
Marga ini adalah keturunan dari Datu Parulas yakni Siboro. Morga Siboro adalah submarga Purba yang berkembang di Tanoh Simalungun. Akan tetapi di kemudian hari, keturunan marga ini merantau ke Tanoh Pakpak dan berubah menjadi Cibero.
  • Menjadi Raja di Tanoh Simalungun
    • Asal Mula Morga Sidasuha
Menurut sejarah Kerajaan Dolok Silau dari kitab Pustaha Bandar Hanopan di Kecamatan Silau Kahean Kabupaten Simalungun bahwa Purba Dasuha adalah marga yang muncul kemudian dari Kerajaan Silau di Simalungun sekitar tahun 1450. Menurut pustaka lama itu, adapun mulanya adalah dari ucapan “si” artinya “orang” dan “Da” artinya “sang”, serta “suha; dari kata “suha-suha” artinya “sisa-sisa minuman tuak/aren”. Jadi Sidasuha artinya: “orang yang dijuluki sebagai peminum suha-suha (sisa-sisa tuak). Munculnya julukan ini pertama kali di Silau Buttu (suatu kampung di Kecamatan Raya Kabupaten Simalungun sekarang). Kisahnya berawal dari pertengkaran dari dua orang putera raja Silau yang bersaudara kandung. Menurut kisah, Raja Silau bermarga Purba Tambak mempunyai dua orang putera, putera tertua seorang petualang yang pekerjaannya sehari-hari “mardagang” (mengembara) dan berjudi. Menurut adat kerajaan, putera tertua inilah yang kelak menggantikan ayahnya menjadi raja. Anak yang bungsu seorang petani yang baik, suka berladang dan pendiam. Pekerjaannya sehari-hari hanya mengurus tanamannya dan pekerjaan sambilannya sehabis berkebun adalah “maragad” (mengambil tuak dari pohon enau).

Pada suatu hari anak yang bungsu marah kepada abangnya, karena telah menghabiskan tuak hasil sadapannya. Dia protes kepada abangnya, tetapi abangnya tidak mempedulikannya, malah balik memukul adiknya. Karena emosi, abangnya mengatakan dalam bahasa Simalungun, “ai suha-suha ni bagod in do talup inumonmu, tandani ho silojaloja irumah bolon on!” (Artinya: “Memang “suha-suha bagod” (sisa tuak) itu sangat cocok untuk minumanmu, pantas buatmu selaku orang suruhan di istana ini”). Mendengar ucapan yang merendahkan itu, anak bungsu merasa terhina dan balik memukul abangnya, akhirnya mereka berkelahi dengan adu pencak (dihar), dan karena abangnya lebih kuat, adiknya pergi dari Silau Buttu menuju ke daerah Tigarunggu (Kecamatan Purba Kabupaten Simalungun sekarang). Tetapi abangnya mengejar dia terus bersama pasukan kerajaan berniat hendak membunuhnya. Maka terpaksalah adiknya berlindung ke tempat adik perempuannya (bou Tambak) di Malasori yang disembunyikan di bawah “palakka pangulgasan” (tempat merendam benang tenunan), dan sang bou dengan tenang duduk di atasnya melanjutkan pekerjaannya bertenun.

Akhirnya tibalah rombongan abangnya di Malasori dan menanyakan perihal adiknya yang dibencinya itu. Oleh Bou Tambak ditunjukkan arah yang lain, sehingga selamatlah abangnya yang disembunyikan di bawah palakka itu sementara Bou duduk di atasnya menenun. Sebelum abangnya pergi, disumpahkannya kepada adiknya (Bou Tambak) bahwa ia sampai keturunanya akan mengingat jasa adiknya itu dan akan menyayangi “botou” (saudara perempuan) dan “boruni” (anak perempuan/pihak yang memperisteri adik perempuannya). Demikianlah menurut kisah sehingga keturunan Purba Sidasuha sangat sayang kepada “boru” atau “botou”-nya.

Dengan sahabat-sahabat setianya yang menyertai pelariannya itu—pustaha panei bolon milik ayahnya Raja Silau juga turut dibawa lari—ia pun sampailah di daerah sekitar Tigarunggu dan membangun perkampungan di sana. Dinamailah kampung itu “HUTA SUHA BOLAG” mengingat riwayat pelariannya itu, marganya pun ia robah, sehingga bukan lagi PURBA TAMBAK, tetapi berubah menjadi PURBA SIDASUHA atau PURBA DASUHA. Dengan pertolongan sahabat-sahabatnya, ia pun mengangkat dirinya menjadi yang dipertuan di tempat itu, karena daerah itu masih dalam wilayah kekuasaan ayahnya Raja Silau. Di kemudian hari, ayahnya Raja Silau berperang dengan saudaranya Raja Silau Bolag, karena terdesak Raja Silau melarikan diri ke tempat anaknya Tuan Suha Bolag meminta perlindungan, tetapi karena pasukan Raja Silau Bolag lebih kuat, pertahanan Raja Silau berhasil dihancurkan di Suha Bolag, dan Raja Silau pun tewas bersama panglima-panglimanya Pisang Buil, Sibayak Parbosi dan Raja Hanopa. Sehabis perang, abangnya (putera mahkota raja Silau) ditawan di Suha Bolag, tetapi dapat meloloskan dirinya dari tutupan, ia melarikan diri bersama pasukannya ke daerah Bangun Purba sekarang ini dan mendirikan kerajaan bernama KERAJAAN RUBUN yang daerah kekuasaanya berwatas dengan Bah Karei (Sungai Ular)—Rih Sigom dan Sibaganding. Keturunanya kelak mendirikan KERAJAAN DOLOG SILAU dengan memakai marga PURBA TAMBAK LOMBANG. Selepas perang saudara, Tuan Suha Bolag pergi ke Kerajaan Siantar dan kawin dengan tuan puteri raja Siantar (Bou Siattar) morga Damanik yang turun-temurun menjadi permaisuri di Kerajaan Panei. Dengan bantuan mertuanya Raja Siantar marga Damanik, Tuan Suha Bolag diangkat menjadi raja di daerah bekas kekuasaan Raja Onggou Sipoldas morga Saragih. Kisahnya, Raja Onggou Sipoldas selaku salah satu dari RAJA MAROPPAT (Siantar, Onggou Sipoldas, Tanoh Djawa dan Silau) tidak percaya dengan kesaktian pusaka Kerajaan Silau yakni PUSTAHA PANEI BOLON (kitab kuno dari kulit kayu yang tulisannya hanya dapat dibaca di tempat gelap di mana tulisan di kitab itu memancarkan sinar seperti seekor naga, sehingga dapat diramalkan nujuman mengenai hal-hal yang akan terjadi). Raja Onggou Sipoldas takabur dengan ucapannya sendiri, sehingga dalam pertaruhannya dengan Raja Siantar, ia kalah dan terpaksa memberikan kerajaannya kepada Tuan Suha Bolag, tetapi Tuan Suha Bolag tidak mau dinobatkan di tahta Raja Onggou Sipoldas, melainkan di atas Pustaha Panei Bolon, demikianlah menurut kisah, kerajaannya dinamakan KERAJAAN PANEI. Ibukotanya ditentukan di daerah PAMATANG PANEI (sekitar 8 kilometer dari Pematang Siantar). Daerah kekusaanya pada awalnya hanya kecil saja, tetapi dapat diperluasnya, sehingga berbatas di sebelah selatan mulai dari tepi pantai Tigaras sampai ke sebelah utara di pantai selat Malaka yaitu Indrapura sekarang ini; di sebelah barat dengan daerah Suha Bolag (Kecamatan Purba sekarang) sampai ke perbatasan dengan daerah Silampuyang (Kerajaan Siantar). Raja Panei kedua dinamakan Parhuda Sitajur atau Hantu Panei yang terkenal sakti mandraguna (ia dapat berperang dengan berkuda tanpa dapat dilihat musuh). Pada zamannya daerah Kerajaan Panei sangat disegani di Sumatera Timur, dan pengaruhnya sampai ke Asahan (Buttu Panei). Keturunanya banyak yang merantau ke daerah sekitarnya, ada yang sampai ke Sialtong Serdang dan diangkat menjadi yang dipertuan. Daerah itu sebelum berdiri kesultanan Serdang adalah daerah kekuasaan Kerajaan Silau di Simalungun yang daerahnya mencakup Bangun Purba sampai ke Lubuk Pakam.
Pada tahun 1515 keturunan raja Panei yang mengontrol daerah Purba yaitu Tuan Simalobong Purba Dasuha dikalahkan oleh seorang pengembara dari Tungtung Batu (Pakpak Dairi) dalam adu sumpah (marbija). Tuan Simalobong bersama pengiringnya meninggalkan istana Pamatang Purba pergi ke Purba Saribu dan sebagian ke Haranggaol (Kecamatan Haranggaol Horisan sekarang). Si pengembara yang bernama Raendan “marbulawan” dengan Tuan Simalobong dan mengakui Tuan Simalobong sebagai Raja Nagodang Purba. Ia juga memakai marga yang sama dengan Tuan Simalobong tetapi dengan mengingat asalnya dari Pakpak maka marganya disebutnya Purba Pakpak. Sementara Raja Panei sendiri selama enam generasi masih tetap tinggal di Pamatang Panei, tetapi pada generasi ketujuh terjadi pertikaian di Pamatang Panei yang mengakibatkan perginya salah seorang putera raja Panei bersama pengiringnya dan Puang Bolon (permaisuri raja) ke daerah kekuasaan Kerajaan Panei yaitu daerah Baja Linggei (Sipispis) sekarang kira-kira tahun 1550. Saudara tuan Baja Linggei yang lain ditugaskan oleh Raja Panei pindah ke Raya dan menjabat sebagai GURU RAYA bersamaan dengan dijemputnya tuan puteri Panei yang menjadi permaisuri (puang bolon) di Raya sekitar tahun 1600 (abad XVII). Keturunan raja Panei yang lain yang adalah tuan Sinaman bermarga Purba Sidadolog dan adiknya Tuan Rajaihuta bermarga Purba Sidagambir. Dengan demikian keturunan langsung dari garis marga induk Purba Tambak adalah: Purba Tambak (Silau Buttu, Bawang, Tualang dan Lombang), Purba Sigumonrong (tuan Lokkung dan Marubun Lokkung di Kerajaan Dolok Silau), Purba Sidasuha (raja Panei, tuan Simalobong, tuan Baja Linggei dan Guru Raya), Purba Sidadolog (tuan Sinaman) dan Purba Sidagambir (tuan Rajaihuta dan Dolog Huluan) di Kecamatan Raya sekarang. Pada masa pemerintahan Raja Panei Tuan Djintama (sekitar tahun 1780) didudukkan marga Purba Girsang menjadi partuanan di Dolog Batu Nanggar (yang sebelumnya bernama Naga Litang). Tuan Dolog Batu Nanggar yang terakhir adalah Tuan Badja Purba Girsang yang kawin dengan boru Damanik puteri raja Siantar. Pusat pemerintahannya pada zaman Belanda adalah di Sinaksak. Sekarang Dolog Batu Nanggar telah dimekarkan menjadi dua yaitu: Kecamatan Dolog Batu Nanggar di Sinaksak dan Kecamatan Tapian Dolog di Purbasari, Kabupaten Simalungun.
    • Raja Kerajaan Simalungun
Raja-Raja Kerajaan Purba :Tuan Pangultop Ultop (Datu Parulas) (1624-1648) Tuan Ranjiman (1648-1669) Tuan Nanggaraja (1670-1692) Tuan Batiran (1692-1717) Tuan Bakkaraja (1718-1738) Tuan Baringin (1738-1769) Tuan Bona Batu (1769-1780) Tuan Raja Ulan (1781-1769) Tuan Atian (1800-1825) Tuan Horma Bulan (1826-1856) Tuan Raondop (1856-1886) Tuan Rahalim (1886-1921) Tuan Karel Tanjung (1921-1931) Tuan Mogang (1933-1947)
Raja terakhir yang memimpin adalah Raja Tuan Mogang, yang konon jasadnya hingga kini belum ditemukan. Disinyalir ia dibunuh ketika revolusi sosial berlangsung di Simalungun pada tahun 1947.
Konon, dulu Desa Purba dikenal sebagai salah satu pusat pemerintahan kerajaan tertua di Simalungun, yaitu Kerajaan Purba yang hingga akhir kekuasaanya, terhitung ada 14 raja yang pernah memegang tampuk kekuasaannya. Jadi jelaslah bahwa kerajaan ini bukanlah satu-satunya kerajaan yang pernah ada di wilayah Simalungun.
Sejarah mencatat, ada lima kerajaan besar yang masing-masing menguasai wilayahnya sendiri-sendiri yang di antaranya tersebar di beberapa wilayah: Siantar, Panambean, Tanah Jawa, Pematang Raya dan Purba. Wilayah ini kemudian didiami oleh marga-marga tertentu pula, seperti Saragih, Manik, Sinaga dan Purba sendiri.
Rumah Bolon Pematang Purba sendiri merupakan kediaman Raja Purba yang pertama kali diduduki Tuan Pangultop-ultop (1624-1648), yang kemudian diteruskan secara turun-temurun dengan sebuah tradisi budaya setempat. Raja terakhir yang memimpin adalah Raja Tuan Mogang, yang konon jasadnya hingga kini belum ditemukan. Disinyalir ia dibunuh ketika revolusi sosial berlangsung di Simalungun pada tahun 1947.
Ada semacam Tradisi Pengalihan Kekuasaan yang wajib dilakukan. Ketika raja hendak mewariskan kekuasaannya, diwajibkan untuk menyembelih seekor kerbau, yang lalu tanduknya disimpan agar kelak menjadi bukti untuk raja yang akan berkuasa kemudian. Setidaknya bukti sejarah itu masih dapat terlihat di mana ada 14 tanduk kerbau yang tergantung di dinding ruangan Rumah Bolon.
Lalu, apa dasar pengalihan kekuasaan itu? Seperti lazimnya dalam tradisi kerajaan yang meneruskan kekuasaan pada anak sulung, maka prinsip itu tidaklah mutlak dalam tradisi Kerajaan Purba. “Bukan harus anak sulung, tetapi siapa keturunan yang bagi raja memiliki talenta untuk menjadi pemimpin, maka ialah yang diangkat sebagai penerus kerajaan.
Sebenarnya, raja yang mula-mula berkuasa di Kerajaan Purba bukanlah Tuan Pangultop-ultop, melainkan Raja Purba Dasuha. Tuan Pangultop-ultop sendiri pada awalnya hanyalah pendatang yang datang dari wilayah Dolok Sanggul yang konon disinyalir berdekatan dengan wilayah Pakpak Bharat sekarang.
Lantas, mengapa ia kemudian menjadi raja? Ini masih berdasarkan penuturan Wanson Purba, yang juga merupakan pegawai dinas pariwisata Kabupaten Simalungun yang dihunjuk untuk mengawasi bangunan tua itu. Ia menjelaskan, kedatangan Tuan Pangultop-ultop ke wilayah Purba awalnya dikarenakan kegemarannya menangkap burung yang kemudian mengantarkannya ke kawasan Purba.
Sebenarnya jika ditelaah, Pangultop-ultop dengan demikian sudah mempraktekkan politik kekuasaan.
Konon, suatu ketika di wilayah hutan belantara, Purba, ia berhasil menangkap seekor burung Nanggordaha yang kemudian dari tembolok burung itu (terdapat biji padi dan jagung), ia mendapatkan makanannya sendiri. Ketika ia melihat bahwa Purba adalah negeri yang subur, maka ia pun memohon kepada Raja Purba Dasuha untuk diberikan sebidang tanah. Tanah itu kelak ia tanami dengan biji padi dan jagung yang ia dapat dari tembolok burung itu.
Ini jugalah yang menghantarkan Pangultop-ultop kepada kejayaan. Hasil panen yang melimpah dari sebidang tanah atas kebaikan raja itu, ia simpan di sebuah lumbung besar.
Suatu waktu muncullah masa paceklik yang mengakibatkan penduduk kewalahan mencari makanan. Mengetahui Pangultop-ultop memiliki banyak menyimpan padi dan jagung di lumbungnya, mereka pun lalu memintanya agar memberikan padi dan jagung yang selama itu ia kumpulkan.
Hanya saja, ia tak mau memberi jika mereka hanya memanggilnya dengan sebutan “oppung” (kakek atau orang yang dihormati), melainkan panggilan raja. “Jangan panggil aku oppung jika ingin mendapatkan padi dan jagung dari saya, tapi panggillah saya raja,” katanya.
Mereka pun memanggilnya demikian, yang lantas diketahui oleh Purba Dasuha. Merasa pengakuan terhadap dirinya terancam tidak diakui lagi, maka Purba Dasuha pun mengadakan pertemuan deng an Pangultop-ultop. “Jika kamu memang raja, maka buktikanlah,” katanya,
Hal ini kemudian dituruti Pangultop-ultop dengan mematuhi peraturan yang ditetapkan Purba Dasuha. “Marbijah” (disumpahi) adalah prosesi yang menjadi langkah pembuktian itu. Segenggam tanah, air dan “appang-appang” (kulit kerbau) adalah medianya. Maka, Pangultop-ultop kembali ke tanah asalnya untuk mendapatkan ketiganya.
Segenggam tanah lalu ditabur, dilapisi appang-appang dan di sampingnya ditaruh air yang tertuang dalam tatabu (sejenis tempayan air yang terbuat dari kulit labu). Disaksikan oleh rakyat, lalu Pangultop-ultop bersumpah di hadapan Purba Dasuha dan para ulubalang, katanya, “jika tanah dan air yang aku duduki ini bukanlah milikku, maka sekarang juga aku matilah.” Pangultop-ultop pun kemudian meminun air itu.
Waktulah yang kemudian menjawab sumpah itu. Meski sudah melewati hari, minggu, bulan hingga tahun, namun Pangultop-ultop tidak mati—seperti lazimnya sebuah sumpah yang mengandung kebohongan maka maut adalah imbalannya. Dan waktu jugalah yang menentukan peralihan kekuasaan itu. “Kuakui, sekarang kamulah raja yang pantas memimpin Kerajaan Purba, sebab sumpahmu tak berbala,” kata Purba Dasuha kemudian.
Sejak saat itu Pangultop-ultop resmi diangkat menjadi raja, tepatnya pada 1624, yang lalu memimpin hingga 1648. Sedang raja terdahulu—Purba Dasuha—masih dianggap sebagai raja, hanya saja ia tidak lagi memerintah.
  • Merantau ke Taneh Karo
    • Menjadi Merga Tarigan
Merga Tarigan adalah keturunan dari Marga Purba Sigulangbatu. Marga ini berkembang sangat pesat di Tanah Karo. Biasanya anak cucu Marga Purba yang merantau ke Tanah Karo, memakai Merga Tarigan. Sehingga banyak submarga dari Tarigan yang mirip dengan submarga Purba. Contohnya: Tarigan Gersang (Purba Girsang), Tarigan Silangit (Purba Silangit), Tarigan Tua (Purba Tua), dll.
    • Purba Si Enam yang Terbuang menjadi Sembuyak Merga Karokaro
Pada masa itu, di daerah Simalungun yang berbatasan dengan Tanah Karo terdapat sebuah kerajaan dengan rajanya bermarga Purba. Semenjak putra bungsunya lahir, Raja ini sering mengalami sakit-sakitan, banyak dukun yang sudah mengobatinya tetapi penyakit raja ini tak juga kunjung sembuh. Akhirnya didatangkanlah tujuh orang dukun terkenal sangat sakti berasal dari negeri Pakpak yang bergelar Guru Pakpak Pitu Sedalanen untuk mengobatinya.

Dengan menggunakan kesaktian mereka para guru Pakpak ini kemudian melakukan pemeriksaan. Dari hasil pemeriksaan, diketahui bahwa putra bungsu raja itulah sumber penyakit dan malapetaka selama ini. Untuk menghindarkan malapetaka itu, maka putra bungsu harus dibuang.

Untuk itu, mereka lalu pergi membawa putra bungsu Raja Purba yang sudah beranjak remaja jauh ke tengah hutan belantara. Di dalamnya, mereka kemudian membuat gubuk kecil untuk tempat tinggal putra raja itu. Setelah gubuk selesai didirikan, Para guru Pakpak lantas meninggalkan putra raja itu sendirian. Tetapi ketika mereka akan pergi, para guru Pakpak ini lebih dahulu memberikan panah, pedang, dan pisau kepada putra Raja Purba itu.
Setelah itu mereka menancapkan tongkat-tongkat sakti mereka di tujuh tempat di sekitar gubuk. Dari ketujuh tempat itu muncullah tujuh mata air bening.
Dengan kesaktian mereka, Guru Pakpak Pitu Sedalanen menumbuhkan pula rumpun bambu berduri mengelilingi gubuk itu. Tempat itulah yang hingga sekarang dikenal dengan nama Buluh Duri.

Setelah beberapa tahun putra Raja Purba tinggal di tempat Pembuangannya, di tengah hutan belantara, tumbuhlah dia menjadi seorang pemuda yang tampan dan gagah. Pada suatu hari, dia pergi berburu, dalam perburuan dia melihat seekor burung yang bulunya sangat cantik berwarna-warni.
Iapun mengejar burung itu untuk menangkapnya, tapi burung itu terus terbang, ke mana saja burung itu terbang terus dikejarnya. Ketika sedang mengejar burung itu, ia bertemu dengan seorang gadis yang sangat cantik.
Gadis itu sedang duduk dekat sebuah mata air sambil mengeringkan rambutnya yang terurai panjang. Si pemuda sangat terkejut dan heran melihat gadis cantik itu berada sendirian di tengah hutan. Di samping itu, dia merasa gembira pula karena sudah bertahun-tahun lamanya dia tidak pernah bertemu dengan manusia lain. Dengan hati berdebar-debar, dihampirinya gadis cantik itu.
Sambil tersenyum gadis itu menanyakan apa maksud kedatangannya ke tempat itu. Mendengar pertanyaan gadis cantik itu si pemuda kemudian menjelaskan maksud kedatangannya, yaitu hendak menangkap seekor burung. Selanjutnya, gadis itu menanyakan banyak hal mengenai dirinya. Semua pertanyaan gadis itu dijawab oleh si pemuda. Dengan demikian tahulah si gadis bahwa si pemuda berasal dari daerah Simalungun, dan putra raja bermarga Purba.

Setelah lama bercakap-cakap berduaan, akhirnya si gadis mengajak si pemuda pergi bersama-sama ke tempat tinggalnya. Si pemuda menerima ajakannya itu dan mereka lalu pergi menuju tempat tinggal si gadis. Ternyata tempat tinggalnya di dalam sebuah gua besar. Letaknya tidak begitu jauh dari mata air tempat gadis itu ditemukan si pemuda.

Beberapa saat setelah mereka memasuki gua tempat tinggal si gadis, tiba-tiba si pemuda terkejut dan hendak melarikan diri sebab ia melihat seekor ular yang sangat besar di hadapannya. Gadis itu lalu menahan si pemuda supaya tidak melarikan diri. Sesaat kemudian tampak pula olehnya burung yang dikejar-kejarnya tadi sedang bertengger di dekat ular yang besar itu.

Si pemuda terkejut kembali ketika dia mendengar ular besar itu berkata-kata mempersilakan masuk, gadis itu lalu membawa si pemuda masuk. Tak lama kemudian, si gadis menghidangkan berbagai macam buah-buahan untuk si pemuda. Karena ular besar dan burung itu terus memperhatikan si pemuda maka ia menjadi kebingungan.
Melihat hal itu si gadis lalu menjelaskan kepada si pemuda bahwa ular besar itu adalah ibunya, dan burung yang berwarna-warni bulunya itu adalah ayahnya. Selanjutnya, dijelaskan pula oleh si gadis bahwa ayahnya yang berupa burung itu memang sengaja memancing perhatian si pemuda agar mengejarnya sampai ke tempat si gadis. Mendengar penjelasan gadis itu, si pemuda bertanya mengapa ayahnya yang berupa burung itu berbuat demikian.
Si gadis menjelaskan bahwa kedua orang tuanya ingin agar ia kawin dengan si pemuda. Mendengar hal itu si pemuda sangat terkejut, kemudian si gadis bertanya apakah si pemuda bersedia memenuhi keinginan kedua orang tuanya itu. Si pemuda mengatakan bahwa ia bersedia.

Setelah pemuda yang bermarga Purba itu mengawini si gadis, kedua orang tua istrinya lalu menganjurkan mereka agar pergi mencari dan menetap di perkampungan manusia. Tak lama kemudian pergilah mereka mencari perkampungan.
Setelah mencari ke sana kemari, akhirnya sampailah mereka ke satu kampung yang bernama Kaban. Kampung itu dihuni orang Karo bermarga Sinukaban dan Ketaren. Orang-orang di kampung itu menerima keduanya dengan suka rela dan menganjurkan mereka agar menemui kepala kampung untuk menyampaikan maksud kedatangan mereka.

Setelah mereka bertemu dengan kepala kampung, mereka kemudian mohon izin agar diperkenankan mendirikan rumah di perkampungan tersebut. Mendengar permohonan itu, kepala kampung menyetujui dan menganjurkan agar mereka mendirikan rumah ke arah hilir kampung Kaban. Dalam bahasa Karo arah hilir disebut “njahe”. Sesuai dengan anjuran kepala kampung itu, pergilah mereka mendirikan rumah di njahe atau di arah hilir kampung Kaban.

Setelah mereka mendirikan rumah dan menetap di sana, lama kelamaan tempat itu berkembang menjadi kampung yang bernama Kaban Jahe. Mereka kemudian memperoleh enam anak lelaki (dilaki) dan satu anak perempuan (diberu).
Keenam putranya itu disebut Purba Si Enam, dari merekalah berkembang marga Purba di Tanah Karo yang kemudian menggabungkan diri ke dalam marga Karo-Karo. Dari keturunan marga Purba yang beristerikan ular ini kemudian melahirkan marga Sekali, Sinuraya, Sinuhaji, Jong, Sikemit, Samura, dan Bukit.
Sekali mendirikan kampung Seberaya dan Lau Gendek, serta Taneh Jawa. Sinuraya dan Sinuhaji mendirikan kampung Seberaya dan Aji Siempat yakni Aji Jahe, Aji Mbelang, dan Ujung Aji. Jong dan Kemit mendirikan kampung Mulawari. Adapun marga Samura mendirikan kampung Samura dan Bukit mendirikan kampung Bukit.
Hingga kini mereka yang tergolong sebagai marga Purba tidak boleh mengganggu atau membunuh ular, karena mereka sangat percaya bahwa nenek moyang mereka yang perempuan adalah keturunan ular.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar