- Pergi ke Tanoh Dairi
- Purba Pakpak yang merantau ke Tanoh Simalungun
- Menjadi Raja di Tanoh Simalungun
- Asal Mula Morga Sidasuha
- Raja Kerajaan Simalungun
Raja-Raja
Kerajaan Purba :Tuan Pangultop Ultop (Datu Parulas) (1624-1648) Tuan
Ranjiman (1648-1669) Tuan Nanggaraja (1670-1692) Tuan Batiran
(1692-1717) Tuan Bakkaraja (1718-1738) Tuan Baringin (1738-1769) Tuan
Bona Batu (1769-1780) Tuan Raja Ulan (1781-1769) Tuan Atian (1800-1825)
Tuan Horma Bulan (1826-1856) Tuan Raondop (1856-1886) Tuan Rahalim
(1886-1921) Tuan Karel Tanjung (1921-1931) Tuan Mogang (1933-1947)
Raja terakhir yang memimpin adalah Raja Tuan Mogang, yang konon jasadnya hingga kini belum ditemukan. Disinyalir ia dibunuh ketika revolusi sosial berlangsung di Simalungun pada tahun 1947.
Konon, dulu Desa Purba dikenal sebagai salah satu pusat pemerintahan kerajaan tertua di Simalungun, yaitu Kerajaan Purba yang hingga akhir kekuasaanya, terhitung ada 14 raja yang pernah memegang tampuk kekuasaannya. Jadi jelaslah bahwa kerajaan ini bukanlah satu-satunya kerajaan yang pernah ada di wilayah Simalungun.
Sejarah mencatat, ada lima kerajaan besar yang masing-masing menguasai wilayahnya sendiri-sendiri yang di antaranya tersebar di beberapa wilayah: Siantar, Panambean, Tanah Jawa, Pematang Raya dan Purba. Wilayah ini kemudian didiami oleh marga-marga tertentu pula, seperti Saragih, Manik, Sinaga dan Purba sendiri.
Rumah Bolon Pematang Purba sendiri merupakan kediaman Raja Purba yang pertama kali diduduki Tuan Pangultop-ultop (1624-1648), yang kemudian diteruskan secara turun-temurun dengan sebuah tradisi budaya setempat. Raja terakhir yang memimpin adalah Raja Tuan Mogang, yang konon jasadnya hingga kini belum ditemukan. Disinyalir ia dibunuh ketika revolusi sosial berlangsung di Simalungun pada tahun 1947.
Raja terakhir yang memimpin adalah Raja Tuan Mogang, yang konon jasadnya hingga kini belum ditemukan. Disinyalir ia dibunuh ketika revolusi sosial berlangsung di Simalungun pada tahun 1947.
Konon, dulu Desa Purba dikenal sebagai salah satu pusat pemerintahan kerajaan tertua di Simalungun, yaitu Kerajaan Purba yang hingga akhir kekuasaanya, terhitung ada 14 raja yang pernah memegang tampuk kekuasaannya. Jadi jelaslah bahwa kerajaan ini bukanlah satu-satunya kerajaan yang pernah ada di wilayah Simalungun.
Sejarah mencatat, ada lima kerajaan besar yang masing-masing menguasai wilayahnya sendiri-sendiri yang di antaranya tersebar di beberapa wilayah: Siantar, Panambean, Tanah Jawa, Pematang Raya dan Purba. Wilayah ini kemudian didiami oleh marga-marga tertentu pula, seperti Saragih, Manik, Sinaga dan Purba sendiri.
Rumah Bolon Pematang Purba sendiri merupakan kediaman Raja Purba yang pertama kali diduduki Tuan Pangultop-ultop (1624-1648), yang kemudian diteruskan secara turun-temurun dengan sebuah tradisi budaya setempat. Raja terakhir yang memimpin adalah Raja Tuan Mogang, yang konon jasadnya hingga kini belum ditemukan. Disinyalir ia dibunuh ketika revolusi sosial berlangsung di Simalungun pada tahun 1947.
Ada
semacam Tradisi Pengalihan Kekuasaan yang wajib dilakukan. Ketika raja
hendak mewariskan kekuasaannya, diwajibkan untuk menyembelih seekor
kerbau, yang lalu tanduknya disimpan agar kelak menjadi bukti untuk raja
yang akan berkuasa kemudian. Setidaknya bukti sejarah itu masih dapat
terlihat di mana ada 14 tanduk kerbau yang tergantung di dinding ruangan
Rumah Bolon.
Lalu, apa dasar pengalihan kekuasaan itu? Seperti lazimnya dalam tradisi kerajaan yang meneruskan kekuasaan pada anak sulung, maka prinsip itu tidaklah mutlak dalam tradisi Kerajaan Purba. “Bukan harus anak sulung, tetapi siapa keturunan yang bagi raja memiliki talenta untuk menjadi pemimpin, maka ialah yang diangkat sebagai penerus kerajaan.
Sebenarnya, raja yang mula-mula berkuasa di Kerajaan Purba bukanlah Tuan Pangultop-ultop, melainkan Raja Purba Dasuha. Tuan Pangultop-ultop sendiri pada awalnya hanyalah pendatang yang datang dari wilayah Dolok Sanggul yang konon disinyalir berdekatan dengan wilayah Pakpak Bharat sekarang.
Lantas, mengapa ia kemudian menjadi raja? Ini masih berdasarkan penuturan Wanson Purba, yang juga merupakan pegawai dinas pariwisata Kabupaten Simalungun yang dihunjuk untuk mengawasi bangunan tua itu. Ia menjelaskan, kedatangan Tuan Pangultop-ultop ke wilayah Purba awalnya dikarenakan kegemarannya menangkap burung yang kemudian mengantarkannya ke kawasan Purba.
Sebenarnya jika ditelaah, Pangultop-ultop dengan demikian sudah mempraktekkan politik kekuasaan.
Lalu, apa dasar pengalihan kekuasaan itu? Seperti lazimnya dalam tradisi kerajaan yang meneruskan kekuasaan pada anak sulung, maka prinsip itu tidaklah mutlak dalam tradisi Kerajaan Purba. “Bukan harus anak sulung, tetapi siapa keturunan yang bagi raja memiliki talenta untuk menjadi pemimpin, maka ialah yang diangkat sebagai penerus kerajaan.
Sebenarnya, raja yang mula-mula berkuasa di Kerajaan Purba bukanlah Tuan Pangultop-ultop, melainkan Raja Purba Dasuha. Tuan Pangultop-ultop sendiri pada awalnya hanyalah pendatang yang datang dari wilayah Dolok Sanggul yang konon disinyalir berdekatan dengan wilayah Pakpak Bharat sekarang.
Lantas, mengapa ia kemudian menjadi raja? Ini masih berdasarkan penuturan Wanson Purba, yang juga merupakan pegawai dinas pariwisata Kabupaten Simalungun yang dihunjuk untuk mengawasi bangunan tua itu. Ia menjelaskan, kedatangan Tuan Pangultop-ultop ke wilayah Purba awalnya dikarenakan kegemarannya menangkap burung yang kemudian mengantarkannya ke kawasan Purba.
Sebenarnya jika ditelaah, Pangultop-ultop dengan demikian sudah mempraktekkan politik kekuasaan.
Konon,
suatu ketika di wilayah hutan belantara, Purba, ia berhasil menangkap
seekor burung Nanggordaha yang kemudian dari tembolok burung itu
(terdapat biji padi dan jagung), ia mendapatkan makanannya sendiri.
Ketika ia melihat bahwa Purba adalah negeri yang subur, maka ia pun
memohon kepada Raja Purba Dasuha untuk diberikan sebidang tanah. Tanah
itu kelak ia tanami dengan biji padi dan jagung yang ia dapat dari
tembolok burung itu.
Ini jugalah yang menghantarkan Pangultop-ultop kepada kejayaan. Hasil panen yang melimpah dari sebidang tanah atas kebaikan raja itu, ia simpan di sebuah lumbung besar.
Suatu waktu muncullah masa paceklik yang mengakibatkan penduduk kewalahan mencari makanan. Mengetahui Pangultop-ultop memiliki banyak menyimpan padi dan jagung di lumbungnya, mereka pun lalu memintanya agar memberikan padi dan jagung yang selama itu ia kumpulkan.
Hanya saja, ia tak mau memberi jika mereka hanya memanggilnya dengan sebutan “oppung” (kakek atau orang yang dihormati), melainkan panggilan raja. “Jangan panggil aku oppung jika ingin mendapatkan padi dan jagung dari saya, tapi panggillah saya raja,” katanya.
Mereka pun memanggilnya demikian, yang lantas diketahui oleh Purba Dasuha. Merasa pengakuan terhadap dirinya terancam tidak diakui lagi, maka Purba Dasuha pun mengadakan pertemuan deng an Pangultop-ultop. “Jika kamu memang raja, maka buktikanlah,” katanya,
Hal ini kemudian dituruti Pangultop-ultop dengan mematuhi peraturan yang ditetapkan Purba Dasuha. “Marbijah” (disumpahi) adalah prosesi yang menjadi langkah pembuktian itu. Segenggam tanah, air dan “appang-appang” (kulit kerbau) adalah medianya. Maka, Pangultop-ultop kembali ke tanah asalnya untuk mendapatkan ketiganya.
Segenggam tanah lalu ditabur, dilapisi appang-appang dan di sampingnya ditaruh air yang tertuang dalam tatabu (sejenis tempayan air yang terbuat dari kulit labu). Disaksikan oleh rakyat, lalu Pangultop-ultop bersumpah di hadapan Purba Dasuha dan para ulubalang, katanya, “jika tanah dan air yang aku duduki ini bukanlah milikku, maka sekarang juga aku matilah.” Pangultop-ultop pun kemudian meminun air itu.
Waktulah yang kemudian menjawab sumpah itu. Meski sudah melewati hari, minggu, bulan hingga tahun, namun Pangultop-ultop tidak mati—seperti lazimnya sebuah sumpah yang mengandung kebohongan maka maut adalah imbalannya. Dan waktu jugalah yang menentukan peralihan kekuasaan itu. “Kuakui, sekarang kamulah raja yang pantas memimpin Kerajaan Purba, sebab sumpahmu tak berbala,” kata Purba Dasuha kemudian.
Sejak saat itu Pangultop-ultop resmi diangkat menjadi raja, tepatnya pada 1624, yang lalu memimpin hingga 1648. Sedang raja terdahulu—Purba Dasuha—masih dianggap sebagai raja, hanya saja ia tidak lagi memerintah.
Ini jugalah yang menghantarkan Pangultop-ultop kepada kejayaan. Hasil panen yang melimpah dari sebidang tanah atas kebaikan raja itu, ia simpan di sebuah lumbung besar.
Suatu waktu muncullah masa paceklik yang mengakibatkan penduduk kewalahan mencari makanan. Mengetahui Pangultop-ultop memiliki banyak menyimpan padi dan jagung di lumbungnya, mereka pun lalu memintanya agar memberikan padi dan jagung yang selama itu ia kumpulkan.
Hanya saja, ia tak mau memberi jika mereka hanya memanggilnya dengan sebutan “oppung” (kakek atau orang yang dihormati), melainkan panggilan raja. “Jangan panggil aku oppung jika ingin mendapatkan padi dan jagung dari saya, tapi panggillah saya raja,” katanya.
Mereka pun memanggilnya demikian, yang lantas diketahui oleh Purba Dasuha. Merasa pengakuan terhadap dirinya terancam tidak diakui lagi, maka Purba Dasuha pun mengadakan pertemuan deng an Pangultop-ultop. “Jika kamu memang raja, maka buktikanlah,” katanya,
Hal ini kemudian dituruti Pangultop-ultop dengan mematuhi peraturan yang ditetapkan Purba Dasuha. “Marbijah” (disumpahi) adalah prosesi yang menjadi langkah pembuktian itu. Segenggam tanah, air dan “appang-appang” (kulit kerbau) adalah medianya. Maka, Pangultop-ultop kembali ke tanah asalnya untuk mendapatkan ketiganya.
Segenggam tanah lalu ditabur, dilapisi appang-appang dan di sampingnya ditaruh air yang tertuang dalam tatabu (sejenis tempayan air yang terbuat dari kulit labu). Disaksikan oleh rakyat, lalu Pangultop-ultop bersumpah di hadapan Purba Dasuha dan para ulubalang, katanya, “jika tanah dan air yang aku duduki ini bukanlah milikku, maka sekarang juga aku matilah.” Pangultop-ultop pun kemudian meminun air itu.
Waktulah yang kemudian menjawab sumpah itu. Meski sudah melewati hari, minggu, bulan hingga tahun, namun Pangultop-ultop tidak mati—seperti lazimnya sebuah sumpah yang mengandung kebohongan maka maut adalah imbalannya. Dan waktu jugalah yang menentukan peralihan kekuasaan itu. “Kuakui, sekarang kamulah raja yang pantas memimpin Kerajaan Purba, sebab sumpahmu tak berbala,” kata Purba Dasuha kemudian.
Sejak saat itu Pangultop-ultop resmi diangkat menjadi raja, tepatnya pada 1624, yang lalu memimpin hingga 1648. Sedang raja terdahulu—Purba Dasuha—masih dianggap sebagai raja, hanya saja ia tidak lagi memerintah.
- Merantau ke Taneh Karo
- Menjadi Merga Tarigan
Merga
Tarigan adalah keturunan dari Marga Purba Sigulangbatu. Marga ini
berkembang sangat pesat di Tanah Karo. Biasanya anak cucu Marga Purba
yang merantau ke Tanah Karo, memakai Merga Tarigan. Sehingga banyak
submarga dari Tarigan yang mirip dengan submarga Purba. Contohnya:
Tarigan Gersang (Purba Girsang), Tarigan Silangit (Purba Silangit),
Tarigan Tua (Purba Tua), dll.
- Purba Si Enam yang Terbuang menjadi Sembuyak Merga Karokaro
Pada
masa itu, di daerah Simalungun yang berbatasan dengan Tanah Karo
terdapat sebuah kerajaan dengan rajanya bermarga Purba. Semenjak putra
bungsunya lahir, Raja ini sering mengalami sakit-sakitan, banyak dukun
yang sudah mengobatinya tetapi penyakit raja ini tak juga kunjung
sembuh. Akhirnya didatangkanlah tujuh orang dukun terkenal sangat sakti
berasal dari negeri Pakpak yang bergelar Guru Pakpak Pitu Sedalanen
untuk mengobatinya.
Dengan menggunakan kesaktian mereka para guru Pakpak ini kemudian melakukan pemeriksaan. Dari hasil pemeriksaan, diketahui bahwa putra bungsu raja itulah sumber penyakit dan malapetaka selama ini. Untuk menghindarkan malapetaka itu, maka putra bungsu harus dibuang.
Untuk itu, mereka lalu pergi membawa putra bungsu Raja Purba yang sudah beranjak remaja jauh ke tengah hutan belantara. Di dalamnya, mereka kemudian membuat gubuk kecil untuk tempat tinggal putra raja itu. Setelah gubuk selesai didirikan, Para guru Pakpak lantas meninggalkan putra raja itu sendirian. Tetapi ketika mereka akan pergi, para guru Pakpak ini lebih dahulu memberikan panah, pedang, dan pisau kepada putra Raja Purba itu.
Dengan menggunakan kesaktian mereka para guru Pakpak ini kemudian melakukan pemeriksaan. Dari hasil pemeriksaan, diketahui bahwa putra bungsu raja itulah sumber penyakit dan malapetaka selama ini. Untuk menghindarkan malapetaka itu, maka putra bungsu harus dibuang.
Untuk itu, mereka lalu pergi membawa putra bungsu Raja Purba yang sudah beranjak remaja jauh ke tengah hutan belantara. Di dalamnya, mereka kemudian membuat gubuk kecil untuk tempat tinggal putra raja itu. Setelah gubuk selesai didirikan, Para guru Pakpak lantas meninggalkan putra raja itu sendirian. Tetapi ketika mereka akan pergi, para guru Pakpak ini lebih dahulu memberikan panah, pedang, dan pisau kepada putra Raja Purba itu.
Setelah
itu mereka menancapkan tongkat-tongkat sakti mereka di tujuh tempat di
sekitar gubuk. Dari ketujuh tempat itu muncullah tujuh mata air bening.
Dengan
kesaktian mereka, Guru Pakpak Pitu Sedalanen menumbuhkan pula rumpun
bambu berduri mengelilingi gubuk itu. Tempat itulah yang hingga sekarang
dikenal dengan nama Buluh Duri.
Setelah beberapa tahun putra Raja Purba tinggal di tempat Pembuangannya, di tengah hutan belantara, tumbuhlah dia menjadi seorang pemuda yang tampan dan gagah. Pada suatu hari, dia pergi berburu, dalam perburuan dia melihat seekor burung yang bulunya sangat cantik berwarna-warni.
Setelah beberapa tahun putra Raja Purba tinggal di tempat Pembuangannya, di tengah hutan belantara, tumbuhlah dia menjadi seorang pemuda yang tampan dan gagah. Pada suatu hari, dia pergi berburu, dalam perburuan dia melihat seekor burung yang bulunya sangat cantik berwarna-warni.
Iapun
mengejar burung itu untuk menangkapnya, tapi burung itu terus terbang,
ke mana saja burung itu terbang terus dikejarnya. Ketika sedang mengejar
burung itu, ia bertemu dengan seorang gadis yang sangat cantik.
Gadis
itu sedang duduk dekat sebuah mata air sambil mengeringkan rambutnya
yang terurai panjang. Si pemuda sangat terkejut dan heran melihat gadis
cantik itu berada sendirian di tengah hutan. Di samping itu, dia merasa
gembira pula karena sudah bertahun-tahun lamanya dia tidak pernah
bertemu dengan manusia lain. Dengan hati berdebar-debar, dihampirinya
gadis cantik itu.
Sambil
tersenyum gadis itu menanyakan apa maksud kedatangannya ke tempat itu.
Mendengar pertanyaan gadis cantik itu si pemuda kemudian menjelaskan
maksud kedatangannya, yaitu hendak menangkap seekor burung. Selanjutnya,
gadis itu menanyakan banyak hal mengenai dirinya. Semua pertanyaan
gadis itu dijawab oleh si pemuda. Dengan demikian tahulah si gadis bahwa
si pemuda berasal dari daerah Simalungun, dan putra raja bermarga
Purba.
Setelah lama bercakap-cakap berduaan, akhirnya si gadis mengajak si pemuda pergi bersama-sama ke tempat tinggalnya. Si pemuda menerima ajakannya itu dan mereka lalu pergi menuju tempat tinggal si gadis. Ternyata tempat tinggalnya di dalam sebuah gua besar. Letaknya tidak begitu jauh dari mata air tempat gadis itu ditemukan si pemuda.
Beberapa saat setelah mereka memasuki gua tempat tinggal si gadis, tiba-tiba si pemuda terkejut dan hendak melarikan diri sebab ia melihat seekor ular yang sangat besar di hadapannya. Gadis itu lalu menahan si pemuda supaya tidak melarikan diri. Sesaat kemudian tampak pula olehnya burung yang dikejar-kejarnya tadi sedang bertengger di dekat ular yang besar itu.
Si pemuda terkejut kembali ketika dia mendengar ular besar itu berkata-kata mempersilakan masuk, gadis itu lalu membawa si pemuda masuk. Tak lama kemudian, si gadis menghidangkan berbagai macam buah-buahan untuk si pemuda. Karena ular besar dan burung itu terus memperhatikan si pemuda maka ia menjadi kebingungan.
Setelah lama bercakap-cakap berduaan, akhirnya si gadis mengajak si pemuda pergi bersama-sama ke tempat tinggalnya. Si pemuda menerima ajakannya itu dan mereka lalu pergi menuju tempat tinggal si gadis. Ternyata tempat tinggalnya di dalam sebuah gua besar. Letaknya tidak begitu jauh dari mata air tempat gadis itu ditemukan si pemuda.
Beberapa saat setelah mereka memasuki gua tempat tinggal si gadis, tiba-tiba si pemuda terkejut dan hendak melarikan diri sebab ia melihat seekor ular yang sangat besar di hadapannya. Gadis itu lalu menahan si pemuda supaya tidak melarikan diri. Sesaat kemudian tampak pula olehnya burung yang dikejar-kejarnya tadi sedang bertengger di dekat ular yang besar itu.
Si pemuda terkejut kembali ketika dia mendengar ular besar itu berkata-kata mempersilakan masuk, gadis itu lalu membawa si pemuda masuk. Tak lama kemudian, si gadis menghidangkan berbagai macam buah-buahan untuk si pemuda. Karena ular besar dan burung itu terus memperhatikan si pemuda maka ia menjadi kebingungan.
Melihat
hal itu si gadis lalu menjelaskan kepada si pemuda bahwa ular besar itu
adalah ibunya, dan burung yang berwarna-warni bulunya itu adalah
ayahnya. Selanjutnya, dijelaskan pula oleh si gadis bahwa ayahnya yang
berupa burung itu memang sengaja memancing perhatian si pemuda agar
mengejarnya sampai ke tempat si gadis. Mendengar penjelasan gadis itu,
si pemuda bertanya mengapa ayahnya yang berupa burung itu berbuat
demikian.
Si
gadis menjelaskan bahwa kedua orang tuanya ingin agar ia kawin dengan si
pemuda. Mendengar hal itu si pemuda sangat terkejut, kemudian si gadis
bertanya apakah si pemuda bersedia memenuhi keinginan kedua orang tuanya
itu. Si pemuda mengatakan bahwa ia bersedia.
Setelah pemuda yang bermarga Purba itu mengawini si gadis, kedua orang tua istrinya lalu menganjurkan mereka agar pergi mencari dan menetap di perkampungan manusia. Tak lama kemudian pergilah mereka mencari perkampungan.
Setelah pemuda yang bermarga Purba itu mengawini si gadis, kedua orang tua istrinya lalu menganjurkan mereka agar pergi mencari dan menetap di perkampungan manusia. Tak lama kemudian pergilah mereka mencari perkampungan.
Setelah mencari ke sana
kemari, akhirnya sampailah mereka ke satu kampung yang bernama Kaban.
Kampung itu dihuni orang Karo bermarga Sinukaban dan Ketaren.
Orang-orang di kampung itu menerima keduanya dengan suka rela dan
menganjurkan mereka agar menemui kepala kampung untuk menyampaikan
maksud kedatangan mereka.
Setelah mereka bertemu dengan kepala kampung, mereka kemudian mohon izin agar diperkenankan mendirikan rumah di perkampungan tersebut. Mendengar permohonan itu, kepala kampung menyetujui dan menganjurkan agar mereka mendirikan rumah ke arah hilir kampung Kaban. Dalam bahasa Karo arah hilir disebut “njahe”. Sesuai dengan anjuran kepala kampung itu, pergilah mereka mendirikan rumah di njahe atau di arah hilir kampung Kaban.
Setelah mereka mendirikan rumah dan menetap di sana, lama kelamaan tempat itu berkembang menjadi kampung yang bernama Kaban Jahe. Mereka kemudian memperoleh enam anak lelaki (dilaki) dan satu anak perempuan (diberu).
Setelah mereka bertemu dengan kepala kampung, mereka kemudian mohon izin agar diperkenankan mendirikan rumah di perkampungan tersebut. Mendengar permohonan itu, kepala kampung menyetujui dan menganjurkan agar mereka mendirikan rumah ke arah hilir kampung Kaban. Dalam bahasa Karo arah hilir disebut “njahe”. Sesuai dengan anjuran kepala kampung itu, pergilah mereka mendirikan rumah di njahe atau di arah hilir kampung Kaban.
Setelah mereka mendirikan rumah dan menetap di sana, lama kelamaan tempat itu berkembang menjadi kampung yang bernama Kaban Jahe. Mereka kemudian memperoleh enam anak lelaki (dilaki) dan satu anak perempuan (diberu).
Keenam
putranya itu disebut Purba Si Enam, dari merekalah berkembang marga
Purba di Tanah Karo yang kemudian menggabungkan diri ke dalam marga
Karo-Karo. Dari keturunan marga Purba yang beristerikan ular ini
kemudian melahirkan marga Sekali, Sinuraya, Sinuhaji, Jong, Sikemit,
Samura, dan Bukit.
Sekali
mendirikan kampung Seberaya dan Lau Gendek, serta Taneh Jawa. Sinuraya
dan Sinuhaji mendirikan kampung Seberaya dan Aji Siempat yakni Aji Jahe,
Aji Mbelang, dan Ujung Aji. Jong dan Kemit mendirikan kampung Mulawari.
Adapun marga Samura mendirikan kampung Samura dan Bukit mendirikan
kampung Bukit.
Hingga
kini mereka yang tergolong sebagai marga Purba tidak boleh mengganggu
atau membunuh ular, karena mereka sangat percaya bahwa nenek moyang
mereka yang perempuan adalah keturunan ular.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar